PROGRAM
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN PROFESIONAL
GURU DAN STAFF
PEMERINTAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA
JAKARTA
DINAS PENDIDIKAN
SMP NEGERI 230 JAKARTA
Jln. TPU Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur 13860
PEMBINAAN DAN
PENGEMBANGAN PROFESIONAL GURU DAN STAFF
Mengingat peranan
strategis guru dalam setiap upaya peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi
pendidikan, maka pengembangan profesionalisasi guru merupakan kebutuhan. Benar
bahwa mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh mutu
masukan (siswa), sarana, manajemen, dan faktor-faktor eksternal lainnya. Akan
tetapi seberapa banyak siswa mengalami kemajuan dalam belajarnya, banyak
tergantung kepada kepiawaian guru dalam membelajarkan siswa.
Hakikat Pembinaan dan
Pengembangan Profesional
Pembinaan dan
pengembangan profesionalisasi guru dan staf sekolah dilakukan berdasarkan
kebutuhan institusi, kelompok, maupun individu guru dan staf sendiri. Dari
perspektif institusi, pengembangan guru dan staf dimaksudkan untuk merangsang,
memelihara, dan meningkatkan kualitas staf dalam memecahkan masalah-masalah
keorganisasian. Selanjutnya dikatakan juga bahwa pengembangan guru berdasarkan
kebutuhan institusi adalah penting, namun hal yang lebih penting adalah
berdasar kebutuhan individu guru dan staf untuk menjalani proses
profesionalisasi. Karena substansi kajian dan konteks pembelajaran selalu
berkembang dan berubah menurut dimensi ruang dan waktu, guru dituntut untuk
selalu meningkatkan kompetensinya.
Profesi keguruan
mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam dunia pendidikan. Sejalan
dengan itu, jelas kiranya bahwa profesionalisasi dalam bidang keguruan
mengandung arti peningkatan segala daya dan usaha dalam rangka pencapaian
secara optimal layanan yang akan diberikan kepada masyarakat. Untuk
meningkatkan mutu pendidikan saat ini, maka profesionalisasi guru (pendidik)
merupakan suatu keharusan, terlebih lagi apabila kita melihat kondisi objektif
saat ini berkaitan dengan berbagai hal yang ditemui dalam melaksanakan
pendidikan, yaitu: (1) perkembangan IPTEK, (2) persaingan global bagi lulusan pendidikan,
(3) otonomi daerah, dan (4) implementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP).
Perkembangan IPTEK
yang cepat, menuntut setiap guru dihadapkan pada penguasaan hal-hal baru
berkaitan dengan materi pembelajaran atau pendukung pelaksanaan pembelajaran
seperti penggunaan internet untuk pembelajaran, program multimedia, dan lain
sebagainya.
Diberlakukannya pasar
bebas melalui NAFTA mengindikasikan bahwa setiap lulusan pendidikan di
Indonesia akan dipersaingkan dengan lulusan dari sekolah-sekolah yang berada di
Asia. Kondisi ini semakin memaksa guru untuk segera dan dengan cepat memiliki
kualifikasi dan meningkatkannya untuk nantinya bisa menghasilkan lulusan yang
kompeten.
Kebijakan otonomi
daerah telah memberikan perubahan yang mendasar terhadap berbagai sektor
pemerintahan, termasuk dalam pendidikan. Pengelolaan pendidikan secara
terdesentralisasi akan semakin mendekatkan pendidikan kepada stakeholders pendidikan di daerah dan karena itu
maka guru semakin dituntut untuk menjabarkan keinginan dan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat terhadap pendidikan melalui kompetensi yang dimilikinya.
Pencanangan
implementasi KTSP menunjukkan bahwa kualifikasi profesionalisme harus
benar-benar dimiliki oleh setiap guru apabila menginginkan lulusan yang
memiliki kompetensi sebagaimana diharapkan.
Lebih khusus lagi,
Sanusi et.al (1991:24) mengajukan enam asumsi yang melandasi perlunya
profesionalisasi dalam pendidikan, yakni sebagai berikut:
- Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki
kemauan, pengetahuan, emosi, dan perasaan, yang dapat dikembangkan segala
potensinya: sementara itu pendidikan dilandasi nilai-nilai kemanusiaan
yang menghargai martabat manusia.
- Pendidikan dilakukan secara intensional, yakni
secara sadar dan bertujuan, maka pendidikan menjadi normatif yang diikat
oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik secara universal, nasional,
maupun lokal, yang merupakan acuan para pendidik, peserta didik, dan
pengelola pendidikan.
- Teori-teori pendidikan merupakan kerangka
hipotesis dalam menjawab permasalahan pendidikan.
- Pendidikan bertolak dari asumsi pokok tentang
manusia, yakni manusia mempunyai potensi yang baik untuk berkembang. Oleh
sebab itu, pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan potensi unggul
tersebut.
- Inti pendidikan terjadi dalam prosesnya, yakni
situasi di mana terjadi dialog antara peserta didik dengan pendidik, yang
memungkinkan peserta didik tumbuh ke arah yang dikehendaki oleh pendidik
dan selaras dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat.
- Sering terjadinya dilema antara tujuan utama
pendidikan, yakni menjadikan manusia sebagai manusia yang baik, dengan
misi instrumental yakni merupakan alat untuk perubahan atau mencapai
sesuatu.
Prinsip-prinsip
Pembinaan dan Pengembangan Personil Sekolah
Beberapa prinsip yang
perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pengembangan SDM pendidikan, yaitu:
- Dilakukan untuk semua jenis tenaga kependidikan
(baik untuk tenaga struktural, fungsional, maupun teknis)
- Berorientasi pada perubahan tingkah laku dalam
rangka peningkatan kemampuan profesional dan untuk teknis pelaksanaan
tugas harian sesuai posisi masing-masing.
- Dilaksanakan untuk mendorong meningkatnya
kontribusi setiap individu terhadap organisasi pendidikan
- Dirintis dan diarahkan untuk mendidik dan melatih
seseorang sebelum maupun sesudah menduduki jabatan/posisi
- Dirancang untuk memenuhi tuntutan pertumbuhan
dalam jabatan, pengembangan profesi, pemecahan masalah, kegiatan-kegiatan
remedial, pemeliharaan motivasi kerja, dan ketahanan organisasi
pendidikan.
- Pengembangan yang menyangkut jenjang karier
sebaiknya disesuaikan dengan kategori masing-masing jenis tenaga
kependidikan itu sendiri.
Dengan kata lain bahwa
pengembangan SDM Pendidikan hendaknya didasari prinsip berikut:
- Pengembangan SDM di lingkungan
organisasi/institusi merupakan kebutuhan sesuai dengan dinamika internal
dan tuntutan external organisasi.
- Pengembangan SDM di lingkungan dunia kerja harus
dilakukan by design sesuai dengan
perencanaan pengembangan organisasi, dan tidak dilakukan hanya semata-mata
atas pertimbangan individu (personal interest) pegawai
ybs.
Prosedur Pengembangan
SDM Pendidikan
Seperti telah
dikemukakan pada bagian awal bahan ajar, pengembangan SDM merupakan upaya
membantu pegawai (dalam hal ini tenaga kependidikan) secara individual
menangani tanggung jawabnya di masa kini dan pengembangannya di masa depan.
Pengembangan pegawai banyak dilakukan melalui kegiatan pendidikan dan
pelatihan. Kegiatan ini bertujuan untuk (1) menghilangkan kesenjangan kinerja
pegawai yang disebabkan mereka bekerja tidak sesuai dengan yang diharapkan, (2)
meningkatkan kemampuan angkatan kerja yang lentur dan mampu menyesuaikan diri
dengan perkembangan teknologi baru yang dihadapi organisasi, dan (3)
meningkatkan keterikatan (komitmen) pegawai terhadap organisasi dan membina
persepsi bahwa organisasi itu tempat yang baik untuk bekerja. Pelaksanaan
pendidikan dan latihan bagi para tenaga kependidikan harus dirancang dengan
sebaik-baiknya:
- Siapa yang akan dilatih dan dikembangkan?
- Tingkatan pembelajaran apa yang akan dilaksanakan
(materi,kurikulum)?
- Prinsip pembelajaran apa yang diterapkan
(metodologi)?
- Fasilitas dan alat apa yang diperlukan (termasuk
sumber belajar)?
- Siapa yang akan mengajarnya (nara sumber,
fasilitator)?
- Bagaimana menilai keberhasilannya (evaluasi)?
- Di mana kegiatan itu dilaksanakan?
Disamping itu secara
kelembagaan penyelenggaraan program pelatihan dan pengembangan memerlukan
dukungan biaya dan kesungguhan dalam melaksanakannya. Di bawah ini disajikan
model penyelenggaan program ”Training and Development”
Tugas/Latihan 3:
Apakah model tersebut
memenuhi kaidah keterlaksanaan. Dalam hal apa praktek penyelenggaraan pelatihan
memiliki kelemahan? Diskusikan dalam kelompok dengan anggota 5-7 orang.
Model di atas
merupakan model umum yang dapat diterapkan dalam pembinaan dan peningkatan kemampuan
professional guru. Model di atas menjelaskan bahwa kegiatan pelatihan dimulai
dari hasil analisis kebutuhan pelatihan. Analisis kebutuhan adalah kegiatan
yang dimaksudkan untuk mengetahui secara nyata kekurangan atau kesenjangan
kemampuhan yang dirasakan guru-guru. Hal yang menjadi permasalahan guru dapat
dipelajari dari forum kelompok kerja guru (KKG) atau musyawarah guru mata
pelajaran (MGMP), bahkan bisa diperoleh dari hasil supervisi para pengawas.
Atau dapat pula dilakukan dengan melakukan kajian kebutuhan pelatihan melalui
instrument khusus yang disiapkan. Masalah-masalah yang dihadapi guru, tentu
saja yang berkaitan dengan tugas profesinya, diklasifikasikan dan ditetapkan
prioritasnya.
Langkah selanjutnya
adalah merumuskan tujuan pelatihan yang mengakomodasi kebutuhan pelatihan.
Dalam merumuskan tujuan sudah terantisipasi bahwa pabila tujuan tersebut
tercapai, maka permasalahan kebutuhan guru untuk melayani pembelajaran dapat
diperbaiki. Rumusan tujuan yang jelas akan menggambarkan bahan pelatihan apa
yang perlu disusun, sehingga apabila bahan tersebut dipelajarai dan dapat
dikuasai oleh peserta pelatihan, maka diyakini tujuan pelatihan tercapai.
Sejalan dengan penyusunan bahan pelatihan, perlu dirumuskan alat evaluasi untuk
mengukur ketercapaian tujuan pelatihan. Oleh karena bahan ajar pelatihan
disusun dengan mempertimbangkan tujuan pelatihan, maka dengan sendirinya alat
evaluasi yang disusun pun mengukur penguasaan materi pelatihan oleh peserta
pelatihan. Jika dianggap perlu, alat ini dapat digunakan sebagai pre-test dan
post-test.
Kegiatan pelatihan
akan efektif apabila peserta pelatihan melakukan kegiatan dan tugas belajar
sesuai dengan bahan dan tujuan pelatihan. Temuan empirik menunjukkan bahwa
proses belajar-mengajar yang efektif menggunakan metode yang variatif sesuai
dengan azas pembelajaran orang dewasa dengan dukungan bahan ajar yang jelas dan
fasilitas yang memadai.
Pelatihan guru yang
selama ini dilakukan menunjukkan masih terdapatnya beberapa kelemahan seperti
dilaporkan dalam berbagai sumber. Pertama, pelatihan seringkali diikuti oleh
peserta dalam jumlah besar sehingga tidak ada peluang untuk melakukan diskusi
mendalam, pemecahan masalah, simulasi dan praktek. Kedua, bahan pelatihan
terlalu padat dalam rentang waktu yang relative singkat. Pelatihan seringkali
dimulai pagi hari sampai larut malam, sehingga kesempatan untuk mengkaji ulang
bahan tidak tersedia. Ketiga, pelatih kurang memiliki pengalaman yang sesuai
dengan kebutuhan peserta pelatihan. Keempat, fasilitas yang diperlukan untuk
melaksanakan hasil pelatihan tidak tersedia dan guru-guru kurang mendapat
bantuan professional pada saat melaksanakan hasil-hasil pelatihan. Pelatihan
guru dalam bentuk in-hause training mulai banyak dilaksanakan, karena dapat
mengatasi kekurangan-kekurangan yang selama ini terjadi dalam pelaksanaan
pelatihan.
Pembinaan dan
pengembangan pegawai dapat dilakukan secara menyatu dengan manajemen sekolah
secara integral. Manajemen Sumber Daya Manusia dalam organisasi pada hakekatnya
mempersoalkan upaya untuk pemberdayaan seluruh potensi organisasi dalam rangka
mencapai produktivitas yang setinggi-tingginya. Dalam konsep tersebut termasuk
upaya efisiensi dan efektivitas. Efisiensi menyangkut pemanfaatan input
sebaik-baiknya untuk melayani operasi proses secara proporsional. Efektivitas
menyangkut ketercapaian sasaran atau target-target yang ditetapkan. Besaran
perbandingan antara input dan output menggambarkan index produktivitas.
Adalah sangat rasional
apabila para pimpinan atau manajer pada tingkat apapun memiliki pemikiran untuk
meningkatkan efisiensi setinggi-tingginya untuk menghasilkan output yang
sebesar-besarnya. Akan tetapi perlu diwaspadai jangan sampai terjadi upaya
peningkatan efisiensi menjadi penyebab bagi rendahnya mutu dan menurunnya
jumlah produk.
1. Konsep
Pemberdayaan
Pemberdayaan dalam
konteks sumber daya manusia dimaksudkan upaya yang dilakukan (terutama oleh
pimpinan) untuk meningkatkan daya dukung pegawai terhadap organisasi, melalui
peningkatan kemampuan, kinerja serta komitmen.
- 2. Manfaat Pemberdayaan.
Pemberdayaan seperti
pengertian yang dimaksudkan di atas sangat penting dilakukan dalam organisasi
apapun. Pembangunan dan kemajuan yang dicapai oleh organisasi pada dasarnya
bersifat akumulatif dan berkelanjutan. Ini mengandung arti bahwa segala sesuatu
yang telah dicapai sebelumnya merupakan modal lanjutan bagi pengembangan
lanjut. Dengan kata lain, apabila terjadi upaya pemberdayaan dalam berbagai
bentuk potensi organisasi, maka akan terjadi penghematan. Di samping itu, kondisi
tersebut dapat mempercepat proses pengembangan organisasi, yang disebabkan oleh
terjadinya akumulasi potensi yang dimilki organisasi. Pemberdayaan potensi SDM
memiliki “opportunity cost” dan “opportunity ussage”. Hal ini dimungkinkan
karena sumberdaya yang telah ada memiliki durasi pelayanan yang lama dan
manfaat yang besar, sedangkan biaya pengadaan pegawai baru dapat digunakan
untuk pengembangan program lain, di samping meneruskan program-program
pengembangan yang telah ada.
3. Hakikat dan
Asumsi Pemberdayaan
Pemberdayaan potensi
SDM, demikian pula potensi lainnya, merupakan tuntutan mutlak apabila
organisasi ingin menampilkan kinerja yang sehat. Organisasi yang sehat adalah
organisasi yang memiliki kemampuan untuk memahami kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan
yang dimilikinya, serta mampu melihat tantangan dan memperhitungkan peluang
yang ada. Kemampuan ini akan melahirkan potret posisi organisasi. Dalam kondisi
tersebut, organisasi akan mampu mengembangkan visinya, merumuskan
program-program stratejik, mengembangkan cara-cara yang tepat untuk
melaksanakannya disertai pengendalian yang berfungsi diagnostik dan evaluatif.
Oleh karena itu pemberdayaan SDM merupakan bagian dari budaya manajemen
stratejik. Pemberdayaan SDM dapat meningkatkan kinerja organisasi, kesehatan
organisasi, efisiensi, dan percepatan pengembangan organisasi.
4. Bentuk-bentuk
Pemberdayaan SDM
Pertama, membudayakan
praktek manajemen stratejik. Analisis lingkungan internal organisasi (kekuatan
dan kelemahan) dan analisis lingkungan external (tantangan dan peluang) yang
dilakukan dengan benar memungkinkan diketahuinya posisi lembaga pada saat ini.
Dengan cara demikian dengan sendirinya dapat diketahui kondisi-kondisi SDM saat
ini dihubungkan dengan dukungannya terhadap program-program yang akan
dikembangkan di masa depan.
Kedua, menyusun
program-program berdasarkan hasil “need assessment”, di mana dapat diketahui
kegiatan-kegiatan mana yang perlu ditetapkan untuk meningkatkan kinerja
lembaga. Dengan cara seperti ini kebutuhan sumber pendukung seperti biaya,
alat/fasilitas, dan teknologi dapat diidentifikasi dan disusun lebih teliti.
Tata kerja seperti itu pada dasarnya mensejalankan antara “programming” dan“resourcing”.
Ketiga, Merumuskan
spesifikasi pelayanan yang ada, dan menterjemahkannya kepada tuntutan SDM. Cara
seperti ini memungkinkan dilakukannya “human resource sharing” di antara
unit-unit kerja yang ada. Dalam pelaksanaannya diperlukan koordinasi dan
kerjasama. Kesamaan visi di antara pimpinan unit-unit kerja sangat diperlukan
untuk menghindari adanya kultus kepentingan. Organisasi sebagai sistem terdiri
dari berbagai komponen/bagian yang saling berkaitan. Siatem hanya akan
berfungsi secara efektif apabila di antara masing-masing unsur dapat saling
membangun sinerjik yang harmonis, termasuk dalam resource sharing.”
Keempat, Meningkatkan
tingkat kepuasan pegawai. Cara seperti ini diwujudkan melalui penciptaan budaya
kerja yang melahirkan sistem pengawasan suportif, evaluasi kinerja yang
obyektif bagi pengembangan karir dan renumerasi, penciptaan mutu lingkungan
kerja yang kondusif, sistem “reward and funishment” yang diterapkan secara
konsisten, dan kegiaqtan swejenisnya.
Kelima, melakukan
audit kinerja. Audit kinerja dapat dilakukan oleh pimpinan masing-masing unit
kerja. Audit dapat dilakukan pada kinerja individual, kelompok yang mengerjakan
satuan tugas, dan unit kerja secara utuh. Hal ini dapat dilakukan apabila
deskripsi tugas dan target-target pencapaiannya dirumuskan dengan jelas.
Keenam, mempraktekan
gugus kendali mutu untuk meningkatkan tanggung jawab bersama dan rasa memiliki
di antara anggota organisasi. Praktek ini dimungkinkan apabila gagasan
pengendalian mutu menyeluruh difahami, di mana pegawai telah terbiasa
mengidentifikasi masalah yang dihadapinya dan terlibat dalam memecahkan
persoalan tersebut.
Kegiatan yang banyak
dilakukan untuk memberdayakan pegawai adalah melalui pendidikan dan pelatihan
(pelatihan dan pengembangan) yang kan dibahas dalam bagian khusus di bawah ini.
Latihan/Tugas 3:
|
Diskusikan dalam
kelompok dengan anggota 5-7 orang
1.
Bagaimana pendapat Anda terhadap pernyataan di atas. Jika setuju kemukakan
argumentasi Anda, sebaliknya apabila tidak setuju kemukakan pula argumentasi
Anda.
2.
Kegiatan pemberdayaan mana yang tepat dilakukan untuk mengatasi kondisi
tersebut.
Model Pengembangan
Guru
Banyak cara yang
dilakukan oleh guru untuk menyesuaikan dengan perubahan, baik itu secara
perorangan, kelompok, atau dalam satu sistem yang diatur oleh lembaga. Mulyasa
(2003:43) menyebutkan bahwa pengembangan guru dapat dilakukan dengan cara on the job training dan in service training. Sementara Castetter menyampaikan
lima model pengembangan untuk guru seperti pada tabel berikut:
Tabel 1
Model Pengembangan
Guru
Model Pengembangan Guru
|
Keterangan
|
Individual Guided Staff Development
(Pengembangan Guru yang Dipadu secara
Individual)
|
Para guru dapat menilai kebutuhan belajar mereka dan
mampu belajar aktif serta mengarahkan diri sendiri. Para guru harus
dimotivasi saat menyeleksi tujuan belajar berdasar penilaian personil dari
kebutuhan mereka.
|
Observation/Assessment
(Observasi atau Penilaian)
|
Observasi dan penilaian dari instruksi menyediakan
guru dengan data yang dapat direfleksikan dan dianalisis untuk tujuan
peningkatan belajar siswa. Refleksi oleh guru pada prakteknya dapat
ditingkatkan oleh observasi lainnya.
|
Involvement in a development/
Improvement Process
(keterlibatan dalam Suatu Proses
Pengembangan/Peningkatan)
|
Pembelajaran orang dewasa lebih efektif ketika
mereka perlu untuk mengetahui atau perlu memecahkan suatu masalah. Guru perlu
untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan melalui keterlibatan pada
proses peningkatan sekolah atau pengembangan kurikulum.
|
Training(Pelatihan)
|
Ada teknik-teknik dan perilaku-perilaku yang pantas
untuk ditiru guru dalam kelas. Guru-guru dapat merubah perilaku mereka dan
belajar meniru perilaku dalam kelas mereka.
|
Inquiry(Pemeriksaan)
|
Pengembangan profesional adalah studi kerjasama oleh
para guru sendiri untuk permasalahan dan isu yang timbul dari usaha untuk
membuat praktek mereka konsisten dengan nilai-nilai bidang pendidikan.
|
Dari kelima model
pengembangan guru di atas, model ”training” merupakan model pengembangan yang
banyak dilakukan oleh lembaga pendidikan swasta. Pada lembaga pendidikan, cara
yang populer untuk pengembangan kemampuan profesional guru adalah dengan
melakukan penataran (in service training) baik dalam
rangka penyegaran (refreshing) maupun peningkatan
kemampuan (up-grading). Cara lain baik dilakukan sendiri-sendiri
(informal) atau bersama-sama, seperti: on the job training,
workshop, seminar, diskusi panel, rapat-rapat, simposium, konferensi, dsb.
Inovasi dalam
pendidikan juga berdampak pada pengembangan guru. Beberapa model pengembangan
guru sengaja dirancang untuk menghadapi pembaharuan pendidikan. Candall
mengemukakan model-model efektif pengembangan kemampuan profesional guru,
yaitu: model mentoring, model ilmu terapan atau model ”dari teori ke praktek”,
dan model inquiry atau model reflektif. Model mentoring adalah model dimana
berpengalaman merilis pengetahuannya atau melakukan aktivitas mentor pada guru
yang kurang berpengalaman. Model ilmu terapan berupa perpaduan antara
hasil-hasil riset yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan praktis. Model
inquiry yaitu pendekatan yang berbasis pada guru-guru, para guru harus aktif
menjadi peneliti, seperti membaca, bertukar pendapat, melakukan observasi,
melakukan analisis kritis, dan merefleksikan pengalaman praktis mereka
sekaligus meningkatkannya.
Sedangkan menurut
Soetjipto dan Kosasi (2004:54), pengembangan sikap profesional ini dapat
dilakukan selama dalam pendidikan prajabatan maupun setelah bertugas (dalam
jabatan).
1. Pengembangan
profesional selama pendidikan prajabatan.
Dalam pendidikan
prajabatan, calon guru didik dalam berbagai pengetahuan, sikap, dan ketrampilan
yang diperlukan dalam pekerjaannya nanti. Karena tugasnya yang bersifat unik,
guru selalu jadi panutan bagi siswanya, dan bahkan bagi masyarakat
sekelilingnya. Oleh sebab itu, bagaimana guru bersikap terhadap pekerjaan dan
jabatannya selalu menjadi perhatian siswa dan masyarakat.
Pembentukan sikap yang
baik tidak mungkin muncul begitu saja, tetapi harus dibina sejak calon guru
memulai pendidikannya di lembaga pendidikan guru. Berbagai usaha dan latihan,
contoh-contoh dan aplikasi penerapan ilmu, keterampilan dan bahkan sikap
profesional dirancang dan dilaksanakan selama calon guru berada dalam
pendidikan prajabatan. Sering juga pembentukan sikap tertentu terjadi sebagai
hasil sampingan (by product) dari pengetahuan yang
diperoleh calon guru. Sikap teliti dan disiplin, misalnya dapat terbentuk
sebagai hasil sampingan dari hasil belajar matematika yang benar, karena
belajar matematika selalu menuntut ketelitian dan kedisiplinan penggunaan
aturan dan prosedur yang telah ditentukan. Sementara itu tentu saja pembentukan
sikap dapat diberikan dengan memberikan pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan
khusus yang direncanakan, sebagaimana halnya mempelajari Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4) yang diberikan kepada seluruh siswa sejak dari
sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
2. Pengembangan
profesional selama dalam jabatan
Pengembangan sikap
profesional tidak terhenti apabila calon guru selesai mendapatkan pendidikan
prajabatan. Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan sikap
profesional keguruan dalam masa pengabdiannya sebagai guru. Seperti telah
disebut, peningkatan ini dapat dilakukan dengan cara formal melalui kegiatan
mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya, ataupun
secara informal melalui media massa televisi, radio, koran, dan majalah maupun
publikasi lainnya. Kegiatan ini selain dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan, sekaligus dapat juga meningkatkan sikap profesional keguruan.
Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional (2005) menyebutkan
beberapa alternatif Program Pengembangan Profesionalisme Guru, sebagai berikut:
Program Peningkatan
Kualifikasi Pendidikan Guru
Sesuai dengan
peraturan yang berlaku bahwa kualifikasi pendidikan guru adalah minimal S1 dari
program keguruan, maka masih ada guru-guru yang belum memenuhi ketentuan
tersebut. Oleh karenanya program ini diperuntukkan bagi guru yang belum
memiliki kualifikasi pendidikan minimal S1 untuk mengikuti pendidikan S1 atau
S2 pendidikan keguruan. Program ini berupa program kelanjutan studi dalam bentuk
tugas belajar.
Program Penyetaraan
dan Sertifikasi
Program ini
diperuntukkan bagi guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang
pendidikannya atau bukan berasal dari program pendidikan keguruan. Keadaan ini
terjadi karena sekolah mengalami keterbatasan atau kelebihan guru mata
pelajaran tertentu. Sering terjadi kualifikasi pendidikan mereka lebih tinggi
dari kualifikasi yang dituntut namun tidak sesuai, misalnya berijazah S1 tetapi
bukan kependidikan. Mereka bisa mengikuti program penyetaraan atau sertifikasi.
Program Pelatihan
Terintegrasi Berbasis Kompetensi
Guru yang memenuhi
kualifikasi pendidikan saja belum cukup, diperlukan pelatihan guna meningkatkan
profesionalismenya. Program pelatihan yang diusulkan adalah pelatihan yang
sesuai dengan kebutuhan guru, yaitu mengacu kepada tuntutan kompetensi. Selama
ini pelaksanaan pelatihan bersifat parsial dan pengembangan materi seringkali
tumpang tindih, menghabiskan banyak waktu tenaga dan biaya dan kurang efisien.
Tidak jarang dalam satu tahun seorang guru mengikuti tiga jenis pelatihan
sehingga mengganggu kegiatan PBM, sebaliknya tidak sedikit guru yang pernah
mengikuti pelatihan sekalipun dalam satu tahun.
Oleh karenanya
pelatihan yang diusulkan adalah Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi
(PTBK) yaitu pelatihan yang mengacu pada kompetensi yang akan dicapai dan
diperlukan oleh peserta didik, sehingga isi/materi pelatihan yang akan
dilatihkan merupakan gabungan/integrasi bidang-bidang ilmu sumber bahan
pelatihan yang secara utuh diperlukan untuk mencapai kompetensi (Depdiknas,
2002: 4). Kompetensi yang diharapkan oleh guru mencakup:
1) Memiliki
pemahaman landasan dan wawasan pendidikan, terutama yang terkait dengan bidang
tugasnya.
2) Menguasai
materi pelajaran, minimal sesuai dengan cakupan materi yang tercantum dalam
profil kompetensi.
3) Menguasai
pengelolaan pembelajaran sesuai karakteristik materi pelajaran.
4) Menguasai
evaluasi hasil belajar dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik mata
pelajaran.
5) Memiliki wawasan
profesi serta kepribadian sebagai guru.
Program Supervisi
Pendidikan
Dalam praktek
pembelajaran di kelas masih sering ditemui guru-guru yang ditingkatkan
profesionalismenya dalam proses belajar mengajarnya. Sering ada persepsi yang
salah atau kurang tepat di mana tugas supervisor sering dimaknai sebagi tugas
untuk mencari kesalahan atau untuk mengadili guru, padahal tujuannya untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses belajar mengajar. Ciri utama
supervisi adalah perubahan dalam ke arah yang lebih baik, positif proses
belajar mengajar lebih efektif dan efisien.
Dilingkungan sekolah,
supervisi mempunyai peranan cukup strategis dalam meningkatkan prestasi kerja
guru, yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi sekolah. Dengan demikian
kualitas peranan supervisi di lingkungan sekolah akan dapat meningkatkan
profesionalisme guru yang selanjutnya dapat berdampak positif terhadap prestasi
sekolah.
- Program Pemberdayaan MGMP (Musyawarah Guru Mata
Pelajaran)
MGMP adalah suatu
forum atau wadah kegiatan profesional guru mata pelajaran sejenis di sanggar
maupun di masing-masing sekolah yang terdiri dari dua unsur yaitu musyawarah
dan guru mata pelajaran. Guru mata pelajaran adalah guru SMP dan SMA Negeri
atau Swasta yang mengasuh dan bertanggung jawab dalam mengelola mata pelajaran
yang ditetapkan dalam kurikulum.
Guru bertugas
mengimplementasikan kurikulum di kelas. Dalam hal ini dituntut kerjasama yang
optimal di antara para guru. Dengan MGMP diharapkan akan meningkatkan
profesionalisme guru dalam melaksanakan pembelajaran yang bermutu sesuai
kebutuhan peserta didik. Wadah profesi ini sangat diperlukan dalam memberikan
kontribusi pada peningkatan keprofesionalan para anggotanya.
- Simposium Guru
Selain MGMP ada forum
lain yang dapat digunakan sebagai wadah untuk saling berbagi pengalaman dalam
pemecahan masalah yang terjadi dalam proses pembelajaran yaitu simposium.
Melalui forum simposium guru ini diharapkan para guru menyebarluaskan
upaya-upaya kreatif dalam pemecahan masalah. Forum ini selain sebagai media
untuk sharing pengalaman juga berfungsi untuk kompetisi
antar guru, dengan menampilkan guru-guru yang berprestasi dalam berbagai
bidang, misalnya dalam penggunaan metode pembelajaran, hasil penelitian
tindakan kelas atau penulisan karya ilmiah.
Program pelatihan
tradisional lainnya
Berbagai program
pelatihan sampai saat ini banyak dilakukan. Bentuk-bentuk pelatihan ini sudah
lama ada dan diakui cukup bernilai. Walaupun disadari bahwa seringkali berbagai
bentuk kursus/pelatihan tradisional ini seringkali tidak dapat memenuhi
kebutuhan praktis dari pekerjaan guru. Oleh karena itu, suatu kombinasi antara
materi akademis dengan pengalaman lapangan akan sangat efektif untuk
pengembangan kursus/pelatihan tradisional ini. Pelatihan ini pada umumnya
mengacu pada satu aspek khusus yang sifatnya aktual dan penting untuk diketahui
oleh para guru, misalnya: CTL, KTSP, Penelitian Tindakan Kelas, Penulisan Karya
Ilmiah, dan sebagainya.
- Membaca dan menulis jurnal atau karya ilmiah
Sebagaimana diketahui
bahwa jurnal atau bentuk makalah ilmiah lainnya secara berkesinambungan
diproduksi oleh individual pengarang, lembaga pendidikan maupun lembaga-lembaga
lain. Jurnal atau bentuk karya ilmiah lainnya tersebut tersebar dan dapat
ditemui diberbagai pusat sumber belajar (perpustakaan, internet, dan
sebagainya). Walaupun artikel dalam jurnal cenderung singkat, tetapi dapat
mengarahkan pembacanya kepada konsep-konsep baru dan pandangan untuk menuju
kepada perencanaan dan penelitian baru. Ia juga memiliki kolom berita yang
berkaitan dengan pertemuan, pameran, seminar, program pendidikan, dan
sebagainya yang mungkin menarik bagi guru.
Dengan membaca dan
memahami isi jurnal atau makalah ilmiah lainnya dalam bidang pendidikan guru
dapat mengembangkan profesionalismenya. Selanjutnya dengan meningkatnya pengetahuan
seiring dengan bertambahnya pengalaman, guru diharapkan dapat membangun konsep
baru, keterampilan khusus dan alat/media belajar yang dapat memberikan
kontribusi dalam melaksanakan tugasnya.
- Berpartisipasi dalam Pertemuan Ilmiah
Kegiatan ini dapat
dilakukan oleh masing-masing guru secara mandiri. Yang diperlukan adalah
bagaimana memotivasi dirinya sendiri untuk berpartisipasi dalam berbagai
pertemuan ilmiah. Konferensi atau pertemuan ilmiah memberikan makna penting
untuk menjaga kemutakhiran hal-hal yang berkaitan dengan profesi guru. Tujuan
utama kebanyakan konferensi atau pertemuan ilmiah adalah menyajikan berbagai
informasi dan inovasi terbaru di dalam suatu bidang tertentu.
Partisipasi guru
minimal pada kegiatan konferensi atau pertemuan ilmiah setiap tahun akan
memberikan kontribusi yang berharga dalam membangun profesionalisme guru dalam
melaksanakan tanggung jawabnya. Penyampaian makalah utama, kegiatan diskusi
kelompok kecil, pameran ilmiah, pertemuan informal untuk bertukar pikiran atau ide-ide
baru, dan sebagainya saling berintegrasi untuk memberikan kesempatan pada guru
untuk tumbuh sebagai seorang profesional.
- Melakukan penelitian (khususnya Penelitian
Tindakan Kelas)
Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) yang merupakan studi sistematik yang dilakukan guru melalui
kerjasama atau tidak dengan ahli pendidikan dalam rangka merefleksikan dan
sekaligus meningkatkan praktik pembelajaran secara terus menerus juga merupakan
startegi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme guru. Berbagai kajian yang
bersifat reflektif oleh guru yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan
rasional, memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan dalam
melaksanakan tugasnya, dan memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran
berlangsung akan bermanfaat sebagai inovasi pendidikan.
Magang
Magang ini dilakukan
bagi para guru pemula. Bentuk pelatihan pre-service atau in-service bagi guru junior untuk secara gradual
menjadi guru profesional melalui proses magang di kelas tertentu dengan
bimbingan guru bidang studi tertentu. Berbeda dengan pendekatan pelatihan yang
konvensional, fokus pelatihan magang ini adalah kombinasi antara materi
akademis dengan suatu pengalaman lapangan di bawah supervisi guru yang senior
dan berpengalaman (guru yang lebih profesional).
Mengikuti berita
aktual dari media pemberitaan
Pemilihan yang
hati-hati program radio dan televisi, dan sering membaca surat kabar juga akan
meningkatkan pengetahuan guru mengenai pengembangan mutakhir dari proses
pendidikan. Berbagai bentuk media tersebut seringkali memuat artikel-artikel
maupun program-program yang berkaitan dengan berbagai isu atau penemuan terkini
mengenai pendidikan yang disampaikan dan dibahaas secara mendalam oleh para
ahli pendidikan. Oleh karena itu, penggunaan media pemberitaan secara selektif
yang terkait dengan bidang yang ditekuni guru akan dapat membantu proses
peningkatan profesionalisme guru.
Berpartisipasi dan
Aktif dalam Organisasi Profesi
Ikut serta menjadi
anggota organisasi/komunitas profesional juga akan meningkatkan profesionalisme
seorang guru. Organisasi/komunitas profesional biasanya akan melayani
anggotanya untuk selalu mengembangkan dan memelihara profesionalismenya dengan
membangun hubungan yang errat dengan masyarakat (swasta, industri, dan
sebagainya). Dalam hal ini yang terpenting adalah guru harus pandai memilih
suatu bentuk organisasi profesional yang dapat memberi manfaat utuh bagi
dirinya melalui bentuk investasi waktu dan tenaga.
- Menggalang Kerjasama dengan Teman Sejawat
Kerjasama dengan teman
seprofesi sangat menguntungkan bagi pengembangan profesionalisme guru. Banyak
hal dapat dipecahkan dan dilakukan berkat kerjasama, seperti: penelitian
tindakan kelas, berpartisipasi dalam kegiatan ilmiah, dan kegiatan-kegiatan
profesional lainnya.
Pertemuan secara formal
maupun informal untuk mendiskusikan berbagai isu atau permasalahan pendidikan
termasuk kerjasama dalam berbagai kegiatan lain (misalnya merencanakan,
melaksanakan, dan mengevaluasi program-program sekolah) dengan kepala sekolah,
orang tua peserta didik (komite sekolah), guru dan staf lain yang profesional
dapat membantu guru dalam memutakhirkan pengetahuannya. Berpartisipasi dalam
berbagai kegiatan tersebut dapat menjaga keaktifan pikiran dan membuka wawasan
yang memungkinkan guru untuk terus mendapatkannya. Semakin guru terlibat dalam
perolehan informasi, maka guru semakin merasa akuntabel, dan semakin guru
merasakan akuntabel maka ia semakin termotivasi untuk mengembangkan dirinya.
Disamping itu mengunjungi profesional lainnya di luar sekolah merupakan metode
yang sangat berharga untuk memeproleh informasi terkini dalam rangka proses
pengembangan profesional guru.
- Tantangan Profesionalisasi Guru
Ada beberapa faktor
yang berkaitan dengan beratnya tantangan yang dihadapi oleh profesi keguruan
dalam usaha untuk meningkatkan kewibawaannya di mata masyarakat seperti yang
dikemukan oleh Dedi Supriadi, (1999:104-106) sebagai berikut:
Pertama, berkenaan dengan
definisi profesi keguruan, masih ada kekurangjelasan tentang definisi profesi
keguruan, bidang garapannya yang khas, dan tingkat keahlian yang dituntut dari
pemegang profesi ini. Profesi keguruan berbeda misalnya dengan profesi
kedokteran yang bidang tugas dan tingkat keahlian yang dituntutnya oleh profesi
telah begitu jelas serta dirinci sedemikian rupa.
Kedua, kenyataan yang
terjadi sepanjang sejarah profesi keguruan menunjukkan bahwa desakan kebutuhan
masyarakat dan sekolah akan guru, maka profesi ini tidak cukup terlindungi dari
terjadinya ”gangguan” dari luar. Di masa lalu bahkan hingga dewasa ini, ada kesan
bahwa siapapun boleh berdiri di muka kelas untuk mengajar tanpa mempedulikan
latar belakang dan tingkat pendidikannya. Di zaman kemerdekaan, asal seseorang
bisa menulis, membaca, dan berhitung dan mau membagikan kemauannya kepada orang
lain, dapat langsung berdiri di muka kelas.
Sekalipun hal tersebut
sekarang sudah banyak berkurang, pengaruh dari masa lalu itu masih terasa
hingga sekarang. Di samping itu, kualifikasi pendidikan guru kita amat beragam,
mulai hanya lulusan SLTP hingga S-3. Dapat dibayangkan betapa sulitnya menarik
suatu generalisasi utuh tentang tingkat profesionalisme guru. Sekali lagi,
bandingkan misalnya dengan profesi kedokteran yang anggotanya hanya terdiri
atas dokter dengan kualifikasi pendidikan yang jelas dan seragam.
Ketiga, penambahan jumlah
guru secara besar-besaran membuat sulitnya standar mutu guru dikendalikan dan
dijaga. Hal ini terjadi hampir pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.
Akibatnya, ada anggapan seakan-akan tidak ada relevansinya untuk berbicara
tentang profesionalisme guru di tengah mendesaknya kebutuhan akan guru dalam
jumlah besar.
Keempat, PGRI sendiri
cenderung bergerak di ”pertengahan” antara pemerintah dan guru-guru. PGRI belum
banyak aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang secara sistematis dan langsung
berkaitan dengan peningkatan proefsionalisme guru; misalnya melalui penerbitan
profesional dan kegiatan ilmiah lainnya. Kurangnya dana, langkanya tenaga
profesional dan potensi ”pasar” untuk mengkonsumsi penerbitan profesional,
menjadi sebab sulitnya PGRI bergerak ke arah itu.
Hal serupa juga
berlaku dalam upaya memperjuangkan nasib para guru. Diakui bahwa pada beberapa
tahun terakhir PGRI makin aktif menyuarakan aspirasi guru, namun secara umum
tidak berlebihan bila dikatakan bahwa PGRI masih harus berbuat banyak untuk
menjadi penyalur dan penyambung lidah para guru dalam menyampaikan aspirasinya
untuk perbaikan statusnya.
Baik sebagai wahana
untuk meningkatkan profesionalisme maupun untuk memperjuangkan nasib guru, PGRI
memang masih sebelum ”secanggih” organisasi serupa di negara lain. Misalnya,
NEA (National Educational Association) di AS benar-benar
aktif melakukan pembinaan terhadap profesionalisme guru; sedangkan AFT (American Federation of Teacher) lebih berurusan dengan
upaya memperjuangkan hak-hak guru. Guru-guru yang kurang puas dengan kondisi
kerja banyak bergabung dengan AFT. Di Inggris, NUT (National
Teachers Union) merupakan kekuatan yang ampuh baik sebagai sarana
untuk pembinaan profesionalisme guru maupun dalam mempengaruhi opini publik
tentang pendidikan dan guru.
Kelima, tuntutan dan harapan
masyarakat yang terus meningkat dan berubah membuat guru makin ditantang.
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat melahirkan tuntutan-tuntutan baru
terhadap peran (role expectation) yang seharusnya
dimainkan oleh guru. Akibatnya, setiap penambahan kemampuan guru selalu berpacu
dengan meningkatnya kemampuan dan harapan masyarakat tersebut yang
kadang-kadang lebih cepat dari kemampuan guru untuk memenuhinya. Masalah
terjadi apabila harapan atas peran guru bertambah, sementara kemampuan guru
memenuhinya terbatas.
Bila dimasa lalu guru
menjadi sumber utama untuk menjawab ketidaktahuan siswa, sekarang bukan lagi.
Di rumah tersedia radio, televisi, surat kabar, bahkan komputer dan internet.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa – dengan pengecualian di pedesaan barisan
depan dalam irama perubahan masyarakat sebagaimana dipercayai di masa lalu,
melainkan pengikut perubahan masyarakat yang bergerak jauh di depan mereka.
Dalam situasi demikian, tidak mudah menegakkan profesi keguruan.
Jadi, betapa peliknya
problematik dan betapa beratnya tantangan yang dihadapi profesi keguruan.
- Implementasi Program Pengembangan Profesi Guru
Betapa bagusnyapun
rumusan visi dan misi, serta lengkapnyapun rumusan kandungan isi dengan
pengelaborasiannya yang rinci dari suatu program pendidikan (dalam arti
penyiapan dan pengembangan) keprofesian keguruan, pada akhir dan ujungnya akan
tergantung kepada bagaimana kinerja cara mengimplementasikannya dalam proses
dan situasi pendidikannya yang aktual. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa
implementasi suatu program pengembangan profesi dan perilaku guru itu bukanlah
merupakan sesuatu hal yang mudah, melainkan memerlukan penanganan yang khusus
dan sungguh-sungguh.
Pengembangan profesi
keguruan bukan saja hanya memerlukan dukungan program pengembangan yang
bersifat luwes yang dapat memberikan peluang setiap pengemban profesi guru itu
menempuhnya secara luwes melalui prosedur yang bersifat multi-entry dan/atau
lintas jalur jenis kategori bidang keahlian, juga paket-paket programnya
seyogianya dikembangkan secara luwes pula sehingga memberikan peluang kemudahan
prosedural dan juga memberikan dorongan yang menggairahkan kepada guru untuk
melakukan upaya pengembangan keprofesiannya secara berkelanjutan dengan cara
yang bervariasi.
Abin S. Makmum (1996)
menguraikan tugas, peranan,dan tanggung jawab LPTK, pengguna jasa guru,
organisasi asosiasi profesi guru, serta guru dalam upaya mengembangkan profesi
guru sebagai berikut:
- 1. Tugas, Peranan dan Tanggung Jawab LPTK dan Lembaga Lain yang
Relevan
LPTK merupakan akronim
dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan sebagai generik dari semua lembaga
atau satuan pendidikan yang bidang garapan kegiatannya bertalian dengan upaya
pengadaan atau penyiapan dan/atau pengembangan tenaga kependidikan.
Penggunaannya secara resmi di lingkungan Depdiknas, khususnya Ditjen Dikti,
dimulai dengan terbitnya dokumen PPSPTK (1978). Sedangkan dokumen formal lebih
lanjut (PP No. 38 tahun 1992) untuk maksud yang serupa menggunakan ungkapan
Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan, tanpa akronim. Yang terakhir itu dipandang
serupa dengan terdahulu berdasarkan asumsi bahwa perkataan GURU dalam versi
UNESCO/ILO mencakup semua personel yang terlibat dalam tugas pekerjaan
kependidikan (Dokumen resmi Internasional Hasil Konferensi Antar Pemerintah,
termasuk Indonesia terwakili di dalamnya, yang diselenggarakan oleh UNESCO/ILO
tanggal 21 September s.d. 5 oktober 1966 di Paris).
Bentuk kelembagaan
dari LPTK memang cukup bervariasi sesuai dengan diversifikasi (jenis kategori
bidang keahlian/pekerjaan) dan stratifikasi (tingkat dan/atau jenjang
kualifikasi keahlian/kemampuan) tenaga guru yang harus disiapkan atau dibina
dan dikembangkan baik persekolahan maupun lembaga lain. Selain bentuk kelembagaan
LPTK yang bersifat persekolahan (IKIP yang sekarang berubah menjadi universitas
dengan wider mandate-nya, STKIP, dan FKIP), sesungguhnya masih
terdapat berbagai format lainnya yang titik berat garapannya pada segi
pengembangan (keprofesian) guru. Di antaranya, terdapat BPG – Balai Pendidikan
Guru (sekarang berganti fungsi menjadi LPMP) yang selanjutnya diasosiasikan
dengan gagasan PPPG-Pusat Pengembangan Pendidikan Guru (sekarang berganti
fungsi menjadi P4TK) dengan bidang garapannya yang secara spesifik difokuskan
kepada pengembangan kemampuan guru-guru bidang studi, sebagai program
sertifikasi.
Berdasarkan asumsi
bahwa proses penyiapan (pre-service) dan
pengembangan (in-service) tenaga guru dengan segala kategorinya
seyogianya digariskan sebagi suatu kesatuan yang integral. Seperti
direkomendasikan oleh Konferensi Pendidikan Internasonal yang diselenggarakan
di Jenewa mulai 27 Agustus s.d. 4 Sepetember 1974 oleh UNESCO (Goble, 1977:
206).
Pendidikan lanjutan
hendaknya merupakan bagian integral dari proses pendidikan guru sehingga perlu
ditata secara teratur bagi semua kategori tenaga kependidikan. Prosedur
hendaknya seluwes mungkin dan dapat disesuaikan terhadap kebutuhan guru
individual maupun terhadap ciri-ciri khas setiap daerah, dengan memperhitungkan
perkembangan kekhususan yang berbeda dan perluasan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Secara konseptual,
kedua tahapan proses pendidikan guru tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari
tugas dan tanggung jawab LPTK. Dengan demikian, LPTK itu seyogianya mampu
menjalankan peranannya baik dalam pelaksanaan fungsi pendidikan prajabatan
maupun fungsi pendidikan dalam jabatan. Sebagaimana halnya direkomendasikan
pula oleh UNESCO (Goble, 1977:206).
Fungsi lembaga
pendidikan guru hendaknya tidak saja diperluas untuk memberikan pendidikan
prajabatan kepada para guru, melainkan juga memberikan banyak sumbangan bagi
pendidikan lanjutan mereka; dengan demikian, lembaga-lembaga tersebut hendaknya
memberikan pendidikan prajabatan dan pendidikan lanjutan.
Di Indonesia,
sesungguhnya gagasan UNESCO itu telah dicoba untuk diimplementasikan dalam
rangka pengembangan pola pembaharuan sistem pendidikan tenaga kependidikan.
Pengadaan (penyiapan) tenaga kependidikan yang termasuk kategori tenaga guru
TK, SD, SL, dan juga sebagian PLS pada dasarnya merupakan tugas dan
tanggungjawab LPTK. Terdapat kemungkinan juga pendidikan prajabatan saat itu
dikonsepsikan dapat ditempuh melalui pendidikan dalam jabatan, dengan asumsi
bahwa hingga saat itu masih terdapat sejumlah guru yang telah bertugas.
Sedangkan aturan lain menunjukkan bahwa pada dasarnya semua jenis kategori
tenaga kependidikan dari semua jenang dan/atau tingkat kelembagaan satuan dan
program pendidikan dapat menempuh program pendidikan lanjutan baik di LPMP
maupun di LPTK. Dengan catatan bahwa kepada jenis dan jenjang satuan pendidikan
TK itu termasuk Raudhatul Atfhal, kepada SD itu mencakup Pondok Pesantren dan
kepada PT mencakup IAIN dan sejenisnya, baik yang diselenggarakan oleh
pemerintah (negeri) maupun oleh swasta (LSM).
Khusus bagi LPTK,
dalam kedudukannya sebagi lembaga pendidikan tinggi (telaah PP NO. 38 pasal
11-16 serta pasal 32) secara jelas selain mengemban tugas dharma pendidikan
(menyiapkan dan mengembangkan tenaga kependidikan profesional) itu juga harus
mengemban dharma penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sebagaimana yang
berlaku bagi lembaga pendidikan lainnya (non LPTK). Dengan demikian, secara
akademis LPTK-pun harus setaraf dengan lembaga pendidikan tinggi
(universitas/institut) lainnya, sama halnya juga sebagai pusat pembaharuan dan
pembangunan masyarakat. Dari LPTK itulah diharapkan lahirnya IPTEK dan
humaniora yang relevan dengan bidang kependidikan sebagai sumber dan pendukung
serta penunjang profesi kependidikan
- 2. Tugas, Peranan dan Tanggung Jawab Pihak Pengguna Jasa Guru
Dalam berbagai
kesempatan terdahulu telah disinggung bahwa proses pembinaan kualitas kinerja
keprofesian bukanlah merupakan hal yang bersifat tuntas (exhaustive) secara temporal (berlangsung selama proses)
dan terminal (berhenti saat berakhirnya) menempuh suatu program pendidikan,
melainkan terus berkelanjutan setelah dan selama terjun di dalam menjalankan
praktek keperofesiannya sepanjang hayatnya asalkan selalu berupaya
mengembangkan diri dan menyegarkan kinerja keprofesiannya seirama dengan
tuntutan perkembangan IPTEK dan persyaratan standar bidang pekerjaannya.
Atas dasar itu, maka
pihak-pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan dan pengguna jasa para
pengemban profesi itu seyogianya memberi peluang dan dukungan bagi upaya
pengembangan kualitas kinerja kependidikan, peranan dan tanggung jawab pihak
pengelola dan pengguna jasa tenaga kependidikan itu teramat penting mengingat
bidang garapan tugas pekerjaannya hingga dewasa ini cenderung lebih bersifat
pelayanan yang terorganisasikan dan terikat secara kelembagaan (institusional)
ketimbang yang bersifat pelayanan individual yang bebas dan secara mandiri.
Memang telah mulai menggejala juga, adanya hasrat dari sementara kalangan
masyarakat pengguna jasa di bidamg kependidikan itu yang memerlukan pelayanan
khusus secara privat, namun proporsinya teramat masih terbatas dibandingkan
dengan mereka yang masih menghendaki pelayanan terorganisasikan secara
melembaga, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun oleh
masyarkat (LSM).
Siapa dan/atau lembaga
apa dan yang mana saja yang dapat diidentifikasikan sebagai pihak pengguna jasa
profesi kependidikan itu? Mengingat kegiatan pekerjaan pendidikan itu dewasa
ini telah dikonseptualisasikan secara sistematik, maka unsur-unsur pihak
pengguna jasa pelayanan profesi kependidikannya juga seyogianya diidentifikasi
secara sistematik. Untuk itu, perlu ditelaah:
- Didentifikasi dan dibedakan pihak penggunna (users) jasa profesi guru dengan pihak penerima (beneficiaries) jasa pelayanan profesi
kependidikan. Mereka yang termasuk kepada kategori pertama, ialah mereka
yang terlibat dalam pengelolaan sistem pendidikan pada tingkat mesoskopik
(institusional: pimpinan satuan pendidikan) dan pada tingkat
makroskopiknya (struktural: pimpinan organsiasi atau badan penyelenggara
satuan dan program pendidikan). Sedangkan mereka yang termasuk kepada
kategori kedua, ialah mereka yang secara langsung menerima jasa pelayanan
pendidikan (para peserta didik yang bersnagkutan) dan mereka yang secara
tidak langsung (para orag tua, masyarakat bisnis/industri, instansi
pemerintah, dan berbagai pihak lainnya) menunjukkan antara lain pihak
pengguna terbatas di lingkungan Depdiknas.
- Kiranya dapat dimaklumi betapa luas dan beraneka
ragamnya pihak pengguna jasa pelayanan profesi kependidikan itu, baik
ditinjau dari segi jalur (sekolah-luar sekolah), jenjang
(dasar-menengah-tinggi) maupun penyelenggaranya (negeri-swasta). Dalam
arena yang demikian luas itulah sesungguhnya tenaga kependidikan itu
beroperasi dengan berbagai ragam keahlian dan kekhususannya.
Dengan menggabungkan
kedua kekuatan tersebut, maka secara garis besar pihak pengguna jasa pelayanan
profesi kependidikan itu dapat diikhtisarkan secara skematik sebagai berikut:
Jenjang sub-sistem
|
Status sub-sistem
|
|
Negeri
|
Swasta
|
|
Nasional
|
Departemen dengan unit-unit utama dan perangkatnya
|
Pusat/pucuk organisasi/ Lembaga penyelenggara
Pendidikan (LSM) dengan perangkatnya
|
Regional
|
Dinas dengan unit dan perangkatnya
|
Perwakilan/cabang organisasi LSM penyelenggara
pendidikan dengan perangkatnya
|
Institusional
|
Sekolah, institut/universitas. Balai/Pusdiklat
dengan unit-unitnya
|
Sekolah, institut/universitas, balai/pusat diklat
dengan unit-unitnya
|
Operasional
|
Program Studi, Program Diklat, dsb
|
Program Studi, program Diklat, dsb.
|
Sumber: Abin
Syamsuddin Makmun, (1996:8)
Gambar 3
Spektrum Unsur
Pengguna Jasa Profesi Kependidikan Dalam Kerangka Sistem Pendidikan Nasional
Setiap tingkat dan
jenis kategori pengguna, termasuk penerima, jasa pelayanan tenaga kependidikan
sudah barang tentu tugas, peranan dan tanggungjawabnya dapat bervariasi dalam
kontribusinya untuk terselenggaranya pengembangan profesi dan prilaku tenaga
kependidikan termaksud.
Para pengelola sistem
pendidikan secara struktural mulai dari tingkat puncaknya (nasional, pusat)
sampai kepada tingkat paling bawah (birokrasi/pengurus cabang dan/atau
rantingnya) baik instansi pemerintah maupuan swasta, dalam posisinya sebagai
penyelenggara dan bahkan sekaligus juga sebagai pemilik dari satuan-satuan dan
program-program pendidikan yang bersangkutan, sudah barang tentu seyogianya
memiliki tugas, peranan, dan tanggung jawab yang sangat besar dan luas atas
upaya pengembangan profesi dan prilaku tenaga kependidikan. Sebagaimana
dinyatakan dalam PP No. 38 tahun 1992 pasal 29:
Pengelola sistem
pendidikan nasional bertanggung jawab atas kebijaksanaan nasional berkenaan
dengan sistem pengembangan profesional tenaga kependidikan pada setiap cabang
ilmu pengetahuan.
Demikian juga UNESCO
(Goble, 1977:207) merekomendasikan:
Pemantapan pendidikan
guru lanjutan (continuing and inservice education and
training) yang diperlukan di semua (jenjang/tingkatan) sistem, sejak
pendidikan primer (di jenjang dasar) hingga pendidikan tersier (di jenjang
perguruan tinggi) termasuk juga pendidikan bagi orang dewasa, harus didukung
oleh banyak usaha pejabat yang berwenang di bidang pendidikan usaha semacam itu
mencakup analisis kuantitatif mengenai pengadaan (penyiapan) dan kebutuhan guru
(tenaga kependidikan) di suatu negara, dan juga pelaksanaan perencanaan
nasional atau regional (wilayah/daerah) pendidikan lanjutan bagi para guru-guru
(tenaga kependidikan).
Sama halnya dengan
pengelola satuan dan program pendidikan. Merekapun mempunyai tugas, peranan,
dan tanggungjawab tertentu atas upaya pengembangan profesi tenaga kependidikan
yang berada dalam lingkup kewenangannya. Sebagaimana dinyatakan, antara lain,
dalam PP No. 38 tahun 1992 pasal 30 sebagai berikut;
Pengelola satuan
pendidikan (sekolah, perguruan, SKB, PUSDIKLAT, dsb.) bertanggungjawab atas
pemberian kesempatan kepada tenaga kependidikan yang bekerja di satuan
pendidikan yang bersangkutan untuk mengembangkan kemampuan profesional
masing-masing.
Pihak para penerima (beneficiaries) jasa pelayanan pendidikan langsung
dan/atau tidak langsung pertama, antara lain, para peserta didik dan atau orang
tua mereka. Sedangkan yang tidak langsung, antara lain, para pemakai (yang
mempekerjakan para lulusan dari sesuatu satuan atau program pendidikan ke
dalamnya masyarakat pengusaha dan juga instansi pemerintah). Sepanjang
ketentuan yang berlaku ternyata telah diatur pula tugas, peranan, dan
tanggungjawabbya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan sistem pendidikan
nasional, yang diantaranya juga mencakup aspek pengadaan dan pengembangan
sumber daya pendidikan termasuk SDM atau tenaga kependidikan.
Adapun wujud dan
bentuk tugas, peranan, dan tanggungjawab para pengguna jasa tenaga kependidikan
termaksud, sesungguhnya bukan hanya sebatas:
- menggariskan arah kebijaksanaan tentang
pengembangan profesi tenaga kependidikan; dan/atau
- pemberian izin kesempatan kepada tenaga
kependidikan untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya; melainkan juga
- memberikan dukungan fasilitasnya yang diperlukan,
baik sarana dan prasarana maupun dana atau finansialnya yang diperlukan
bagi kepentingan pengembangan profesi tenaga kependidikan.
Sebagaimana telah
direkomendasikan oleh UNESCO (Goble, 1999: 206-207), antara lain:
Agar proses pendidikan
lanjutan dapat berfungsi efektif dan dapat dinikmati oleh guru-guru yang
bertugas di daerah daerah terpencil, penggunaan radio, televisi, dan kursus
tertulis hendaknya diperluas. Perpaduan antara kursus-kursus penuh dalam jangka
pendek dengan penggunaan program-program yang menggunakan banyak media, yang
cukup lama, termasuk radio, televisi dan kursus-kursus tertulis dapat
memechakan secara langsung problem pendidikan jabatan yang diikuti banyak guru.
Masyarakat pengguna
jasa tenaga kependidikan termaksud dapat mengorganisasikan berbagai bentuk
partisipasinya seperti disebutkan di atas itu sesuai posisi dan statusnya
masing-masing. Pihak pengguna jasa tenaga kependidikan yang terkategorikan ke
dalam atau instansi dinas pemerintahan tentu dapat menggunakan saluran-saluran
kedinasannnya dengan jalan antara lain:
- membentuk atau mendirikan pusat-puast
pengembangan tenaga kependidikan (LPMP, P4TK)
- membentuk dan mendorong atau menggerakkan
unit-unit kerja sama dan asosiasi profesi guru sejenis (MGBS, MGP, KKG,
KKS, dsb) untuk memacu para guru dalam saling membantu dalam pengembangan
kemampuan profesionalnya;
- menyediakan beasiswa untuk melanjutkan studi (di
negara yang telah maju bahkan termasuk untuk ”sabatical live”)
- menyelenggarakan berbagai proyek kegiatan
penelitian, penulisan, seminar serta penataran dan sebagainya yang tertuju
kepada peningkatan kemampuan profesional tenaga kependidikan.
Hal serupa dapat
dilakukan juga oleh pihak masyarakat (LSM) baik badan ataupun yayasan atau
perorangan, baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat bisnis. Banyak
peluang beasiswa (grant atau credit) ditawarkan oleh dunia usaha atau organisasi
sosial kemasyarakatan kepada para tenaga kependidikan untuk keperluan studi
lanjut, penelitian, pengabdian dan sebagainya. Sayangnya, aksesnya kepada para
guru mengenai informasi tentang hal-hal tersebut di Indonesia hingga dewasa ini
masih amat terbatas.
Tugas, Peranan dan
Tanggung Jawab Organisasi Asosiasi Profesi Guru
Seperti yang telah
dibahas sebelumnya, bahwa terbentuknya suatu organisasi asosiasi profesi itu
merupakan salah satu syarat bagi pengakuan keberadaan suatu profesi selain
lebih jauh lagi menunjukkan keberadaan suatu organisasi asosiasi profesi itu
merupakan salah satu syarat kelengkapan penting bagi tegaknya dan kelangsungan
hidupnya suatu profesi. Dalam konteks profesi kependidikan di Indonesia, PP No.
38 tahun 1992 pasal 61 menunjukkan:
Tenaga kependidikan
dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau
mengembangkan karier, kemampuan, kewenangan profesional, martabat dan
kesejahteraan tenaga kependidikan.
Adapun wujud wadah ikatan
profesi tenaga kependidikan termaksud secara umum dan formal model dan
bentuknya telah didiskusikan pada bab terdahulu. Ada yang bersifat generik
(mencakup semua jenis kategori tenaga kependidikan) dan ada yang bersifat
spesifik (berkenaan dengan salah satu jenis dan strata kependidikan tertentu),
secara internasional, telah dikenal sejumlah organisasi asosiasi (ikatan,
himpunan, persatuan, dsb.) tenaga guru yang bersifat spesifik.
Di Indonesia,
perkembangan dan realitasnya agak berbeda dari kecenderungan yang berlaku umum
secara internasional. Sudah barang tentu sesuai dengan kondisi obyektif dan
budaya politik keorganisasian yang berlaku di negeri ini. Di masa yang lampau
(saat-saat kelahiran organisasi guru yang telah menempatkan posisinya sebagai organisasi
perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia), telah disepakati hanya ada satu
organisasi guru secara manunggal yang diidentifikasikan sebagai PGRI.
Sayangnya, organisasi asosiasi profesi guru ini nampaknya seperti kurang
mengindahkan segi-segi kekhususan yang ditekuni para anggotanya. Kiprahnya
nampak cenderung bersifat global kejuangan politik secara nasional, sehingga
identitas khas sebagai organisasi asosiasi keprofesiannya di bidang pendidikan
nyaris tidak menonjol.
Sesungguhnya, terdapat
berbagai organisasi asosiasi di luar PGRI yang bertalian dengan kegiatan atau
permasalahan garapan yang bertalian erat dengan bidang pendidikan, namun tidak
ada kaitan organisatoris secara melembaga dengan PGRI. Di antaranya ialah ISPI
(Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) dengan bidang-bidang keahliannya (ISKIN,
HISAPIN, ISMAPI, HISPELBI, Himpunan Sarjana PLS, IPS, MIPA, Teknik, Olahraga,
Bahasa dan Seni, dsb.).
Selain itu, terdapat
pula format asosiasi lain yang merupakan wadah sebagai forum kebersamaan dan
bekerjasama dalam berbagai kegiatan pengembangan keprofesian guru, antara lain:
MGBS (Musyawarah Guru Bidang Studi: IPA, IPS, Bahasa, Matematika, OR, dsb.);
MGP (Musyawarah Guru Pembimbing) yang kehadirannya disponsori dan didukung oleh
pihak pengguna jasa tenaga kependidikan. Walaupun selama ini identitas
organisasi asosiasi profesi tersebut belum terdapat pembinaan secara menyeluruh
dan cenderung berjalan sendiri-sendiri.
Secara ideal, tugas
dan peranan serta tanggung jawab utama dari organisasi asosiasi profesi
kependidikan itu sebagaimana terkandung dalam muatan meningkatkan dan/atau
mengembangkan:
-
karier;
-
kemampuan;
-
kewenangan profesional;
-
martabat, dan
-
kesejahteraan
Kesemuanya itu tentu
harus dijabarkan atau dielaborasikan ke dalam berbagai bentuk kegiatan upaya
atau kiprah yang nyata oleh organisasi asosiasi profesi kependidikan yang
bersangkutan, sehingga benar-benar dapat dirasakan oleh setiap anggotanya.
Secara umum UNESCO
(Goble, 1977:206) menunjukkan kemungkinan kiprah yang seyogianya dilakukan
mewujudkan tugas, peranan dan tanggungjawab organisasi asosiasi profesi guru:
Organisasi –organisasi
guru hendaknya diberi kesempatan untuk memberikan sumbangan kepada pendidikan
guru lanjutan (pengemban profesi) dengan memprakarsai kesempatan bagi guru
untuk bertemu dan bekerjasama mengatasi berbagai problema yang sama.
Konferensi, seminar dan kursus-kursus yang diselenggarakan oleh organisasi guru
dapat menjadi suatu ukuran yang penting dalam mendorong pengembangan guru yang
dilakukan oleh (organisasi) profesi itu sendiri.
Adapun
problema-problema yang harus diatasi oleh para guru sebagaimana yang tersirat
dalam pernyataan UNESCO tersebut, sudah jelas kiranya erat berkaitan dengan
keempat gugus atau bidang garapan seperti berikut;
- Apa program kegiatan organisasi asosiasi profesi
untuk membantu peningkatan dan pengembangan karier para anggotanya? Ke
dalamnya dapat termasuk juga jika anggotanya itu ingin alih fungsi dari
guru kepada non-guru (pengelola, peneliti dan pengembang, dsb.) dan
sebaliknya. Juga termasuk kelancaran proses penanganan dan penyelesaiannya
yang justru sering terjadi permasalahan perlukah terjalin komunikasi
dengan berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya pihak pengguna tenaga
kependidikan.
- Apa program kegiatan organisasi asosiasi profesi
guru untuk membantu para anggotanya dalam meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan-kemampuan profesionalnya?
- Apa program kegiatan organisasi asosiasi profesi
guru untuk membantu para anggotanya meningkatkan kewenangan, dalam arti
peningkatan jenjang pendidikan formal keprofesiannya? Mengembangkan LPTK?
Menghimpun dana, mencari sponsor untuk menunjang kelanjutan studi para
anggotanya.
- Apa upaya organisasi profesi guru untuk membina
martabat profesinya? Merumuskan kode etika dan membentuk dewan/majelis
pertimbangan kode etikanya? Membina disiplin kerja keprofesian serta
mengupayakan penampilan yang dapat meningkatkan pengakuan dan penghargaan
dari berbagai pihak berkepentingan?
- Apa program kegiatan organisasi asosiasi profesi
guru untuk meningkatkan dan mengembangkan kesejahteraan material, sosial,
mental dan spiritual para anggotanya? Membangun koperasi? Mengembangkan
badan usaha? Menyelenggarakan kegiatan olah raga, seni, rekreasi,
perhimpunan keagamaan dan kerohanian, dsb.?
Jika
pertanyaan-pertanyaan di atas itu dihubungkan dengan bentuk-bentuk organisasi
asosiasi profesi guru yang telah ada di negeri ini, pada dasarnya hampir telah
banyak yang dilakukan. Akan tetapi, seperti dikemukakan terdahulu, dalam prakteknya
berjalan sendiri-sendiri. Setiap jenis organisasi guru yang ada cenderung
mempunyai fokusnya masing-masing. Yang menonjol pada PGRI, antara lain: segi
kooperasinya. Forum MGBS, dsb. menonjol pembinaan kemampuan profesionalnya.
PGRI juga membina beberapa LPTK. Namun majelis pertimbangan kode etika masih
belum ada yang menanganinya secara jelas, meskipun kode etikanya sudah ada.
- 4. Tugas, Peranan dan Tanggung Jawab Guru
Tingkat kualitas
kompetensi profesi seseorang itu tergantung kepada tingkat penguasaan
kompetensi kinerja (performance competence) sebagai
ujung tombak serta tingkat kemantapan penguasaan kompetensi kepribadian
(values and attitudes competencies) sebagai landasan dasarnya,
maka implikasinya ialah bahwa dalam upaya pengembangan profesi dan prilaku guru
itu keduanya (aspek kinerja dan kepribadian) seyogianya diindahkan
keterpaduannya secara proporsional. Lieberman (1956) menunjukkan salah satu
esensi dari suatu profesi itu adalah pengabdian (the service to be rendered)
kepada umat manusia sesuai dengan keahliannya. Karena itu betapa pentingnya
upaya pembinaan aspek kepribadian (inklusif pembinaan sikap dan nilai) sebagai
sumber dan landasan tumbuh-kembangnya jiwa dan semangat pengabdian termaksud.
Dengan demikian, maka identitas dan jatidiri seorang tenaga kependidikan yang
profesional pada dasarnya akan ditandai oleh tercapainya tingkat kematangan
kepribadian yang mantap dalam menampilkan kinerja profesinya yang prima dengan
penuh semangat pengabdian bagi kemaslahatan umat manusia sesuai dengan bidang
keahliannya.
Dalam realitasnya,
pada awal kehadiran dan keterlibatan orang-orang dalam suatu profesi, termasuk
bidang keguruan, pada umumnya datang dengan membawa pola dasar motivasi dan
kepribadian yang bervariasi, sangat mungkin di antara mereka itu datang dengan
bermotifkan ekonomis, sosial, estetis, teoritis, politis atau religius. Kiranya
sulit disangkal bahwa sesungguhnya semua motif dasar tersebut, disadari atau
tidak, akan terdapat pada setiap insan. Akan tetapi, bagi pengemban profesi
kependidikan yang seyogianya dipupuk dan ditumbuhkan selaras dengan tuntutan
tugas bidang pekerjaannya, ialah motif sosial yang berakar pada jiwa dan
semangat filantropis (mencintai dan menyanyangi sesama manusia).
Itulah sebabnya,
mengapa UNESCO amat merekomendasikan agar masalah pembinaan kepribadian guru
itu harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam penyelenggaraan
pendidikan keguruan, baik pada fase prajabatan maupun dalam jabatannya. Di
dalam fase prajabatan, program pendidikan harus dikembangkan yang memungkinkan
dapat terjadinya proses sosialisasi yang sehat, baik melalui kegiatan kurikuler
maupun ko-kurikuler dan ekstra-kurikulernya seperti ”student self-gouvernment
activities” dan ”community services”. Sudah barang tentu harus ditunjang
kelengkapannya yang memadai, termasuk sistem asrama. Sedangkan dalam fase pasca
pendidikan prajabatan, upaya pengembangan kepribadian dan keprofesian itu pada
dasarnya akan sangat tergantung kepada sejauh mana jiwa dan semangat
“self-propelling and professional growth and development” dari guru yang
bersangkutan.
Dalam realitasnya,
semangat dan kesadaran untuk menumbuh-kembangkan diri (kepribadian) dan
keprofesian itu tidak selalu terjadi dengan sendirinya (secara intrinsik),
melainkan harus diciptakan iklim yang mendorong dan ”memaksa” pengemban suatu
profesi itu dari lingkungannya (secara ekstrinsik). Itulah sebabnya baik UUSPN
No. 20 tahun 2003 telah menjadikannya sebagai suatu kewajiban yang harus
dipenuhi oleh setiap guru.
Sebagai
operasionalisasinya untuk mendorong dan ”memaksa” guru agar melaksanakan
kewajibannya itu ialah dengan memperhitungkannya sebagai salah satu komponen
yang menjadi dasar kenaikan jenjang jabatan fungsionalnya dengan diberikan
angka kredit yang signifikan, baik ke dalam unsur pendidikannya, pengembangan
profesi, maupun unsur penunjangnya (SK. Menpan No.28 tahun 1989). Meskipun
berbagai ketentuan tersebut pada dasarnya diperuntukkan bagi PNS, namun dalam
prakteknya juga dijadikan pedoman bagi penentuan angka kredit dalam rangka
menetapkan jenjang jabatan fungsional tenga kependidikan dalam kerangka sistem
pendidikan nasional.
Bagi guru yang datang
dengan motif dasar intrinsik, sudah barang tentu upaya pengembangan dirinya dan
keprofesiannya itu bukan merupakan permasalahan. Ia tinggal memilih saja
alternatif mana yang diminatinya sebagaimana disarankan, secara umum, melalui:
(1) pendidikan formal sesuai dengan jalur, jenjang dan jenis bidang keahliannya
(jika hal itu belum ditempuh sebelumnya); (2) pendidikan non formal (sepanjang
tersedia); (3) keikut-sertaan dalam berbagai kegiatan penelitian, seminar,
lokakarya, penulisan/publikasi, dsb. yang relevan dengan bidang keprofesiannya;
(4) belajar mandiri dengan memanfaatkan berbagai sumber dan media (cetak
dan/atau elektronik) yang tersedia relevan dengan bidang keprofesiannya.
Berbagai kegiatan termaksud sangat boleh jadi dilakukannya juga di lingkungan
kerjanya sebagai laboratorium eksperimentasinya yang aktual, nyata, dan
pragmatis untuk menunjang kualitas kinerjanya secara langsung.
Mengetahui,
Kepala Sekolah,
Dra. Hj. Adriati, M.M.
NIP 19591205198320028
|
Jakarta, Juli 2014
Penyusun,
Sri Budi Sukiyanto, S.Pd.,
M.M.Pd.
NIP 196601101996031003
|
No comments:
Post a Comment